Headlines News :
Home » » KAJIAN KRITIK SASTRA PSIKO-ANALISIS : KRITIK SASTRA NOVEL KLASIK : “KATAK HENDAK MENJADI LEMBU’ KARYA NUR SUTAN ISKANDAR

KAJIAN KRITIK SASTRA PSIKO-ANALISIS : KRITIK SASTRA NOVEL KLASIK : “KATAK HENDAK MENJADI LEMBU’ KARYA NUR SUTAN ISKANDAR

KRITIK SASTRA NOVEL KLASIK : “KATAK HENDAK MENJADI LEMBU’
KARYA NUR SUTAN ISKANDAR
SEBUAH STUDI KARYA SASTRA INTRINSIK DALAM KAJIAN KRITIK SASTRA PSIKO-ANALISIS



OLEH :
IIN INDRA NURAENI, S.S. Ing., M.Pd.

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 
Prinsip-prinsip psiko-analisis sangat cocok untuk mengupas tentang lapisan kejiwaan tokoh-tokoh yang ada dalam Novel yang berjudul “Katak Hendak Menjadi Lembu’ karya Nur Sutan Iskandar ini. Buku setebal 224 halaman ini bersampul hijau bergambar tanaman padi di sawah dengan hiasan 2 buah anak tangga diterbitkan oleh Balai Pustaka. Ide cerita dari karya sastra ini mengalir dengan menggunakan alur maju mundur (digresi) karena awalnya pengarang mengenalkan situasi dan tokoh cerita, lalu kembali menceritakan kejadian masa lalu ketika Suria dijodohkan dengan Zubaidah, kemudian kembali memaparkan cerita yang menuju konflik baik konflik kejiwaan tokoh Zubaidah ataupun konflik kejiwaan Tokoh Raden Suria. Sehingga digunakannya alur maju mundur (digresi) ini, memudahkan pembaca untuk mengetahui awal penyebab konflik sebelum mengetahui konflik yang terjadi. Sedangkan puncak konflik yang digunakan adalah “sad ending” karena diceritakan bahwa Suria akhirnya meninggal dunia.

Adapun tokoh utama novel ini adalah Zubaidah sebagai istri Suria dengan watak protagonis memiliki sifat yang sabar, patuh terhadap suami dan sangat menyayangi ketiga anaknya yaitu Abdulhalim, Saleh dan Enah. Sedangkan suaminya Suria berwatak antagonis memilki sifat sombong, tinggi hati dan tidak layak ditiru oleh siapapun.

Novel ini menceritakan tentang kehidupan Suria yang hanya bekerja sebagai mantri kabupaten tetapi bertingkah bagai orang yang paling berkuasa di daerahnya layaknya seekor katak yang ingin berubah menjadi lembu sangat sesuai dengan judul novel tersebut.

Meskipun novel ini dikarang oleh pengarang yang berasal dari daerah Minangkabau, akan tetapi pengarang mampu menulis novel yang kuat dengan menghadirkan latar tempat dan latar sosial masyarakat Pasundan seperti yang dikatakan oleh Maman S. Mahayana seorang kritikus sastra. Hal ini dibuktikan bahwa pengarang menceritakan adat yang berlaku di Pasundan bahwa seorang anak gadis harus bersedia menikah dengan seseorang pilihan orang tuanya bukan kehendak dirinya sendiri. Selain itu pengarang terlihat piawai memainkan bahasa Sunda seperti “kabodoan” berarti tertipu, ”ngigel” berarti menari, ”semah” berarti tamu dan juga bahasa Belanda seperti “binnelandsch bestuur” berarti pemerintahan dalam negeri, “hulpschrijver” berarti juru tuilis pembantu.

Pasundan adalah latar tempat yang digunakan dalam novel ini. Konflik Emosi seperti kesedihan, kekesalan, ketegangan dan keharuan serta kesombongan menjadi latar suasana suasana kejiwaan yang selalu menghiasi cerita. Hal ini dibuktikan ketika Zubaidah menangis memohon agar suaminya, Suria tidak lagi boros terhadap keuangan rumah tangga. Suasana keharuan ketika Suria diusir oleh anaknya, Abdulhalim karena tabiatnya yang buruk kemudian jatuh miskin dan akhirnya meninggal dunia menyusul istrinya.

Novel menggunakan sudut paandang orang serba tahu karena tidak adanya penggunaan kata “aku” dalam menceritakan suatu kejadian.


1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang di atas, masalah yang dirumuskan adalah:


a. Tingkatan atau Lapisan kejiwaan yang manakah yang mempengaruhi kejiwaan Tokoh Raden Suria dan Tokoh Zubaidah?
b. Gambaran emosi, konflik emosi seperti apakah yang dialami tokoh Raden Suria dan Tokoh Zubaidah?
c. Bagaimana mereka menempuh jalan keluar dari konflik kejiwaan tersebut?

1.3 Tujuan Pembahasan
Tujuan yang ingin dicapai adalah melakukan kritik sastra melalui kajian psikoanalisis terhadap Novel klasik ini dengan mendeskripsikan permasalahan kehidupan yang memengaruhi kejiwaan/psikologis para tokohnya. Dengan teori psikologi penulis bertujuan mengkaji sifat dan pribadi tokoh-tokoh dalam cerita ini terutamaTokoh Zubaidah dan Tokoh Suria.

1.4 Sumber Data
Sumber data yang diperoleh ialah cerita yang berasal dari Novel Klasik karya Nur St. Isakandar yang berjudul “Katak Hendak Menjadi Lembu” selanjutnya disebut KHML.

1.5 Metode Kritik Sastra
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka metode dilakukan dengan pendekatan objektif atau struktural, yang mana penulis menelaahnnovel ini dari segi intrinsiknya yaitu masalah tema, alur, latar dan penokohan serta gaya bahasanya yang menghasilkan perpaduan cerita yang kuat, yang mana pada tokoh-tokohnya ditelaah dengan menggunakan teori psikologi (atau psikoanalisis).

1.6 Landasan Teori
Pendekatan psikologis adalah pendekatan penelaahan sastra yang menekankanpada segi-segi psikologis yang terdapat dalam suatu karya sastra (Atar Semi, 1989: 46). Dari berbagai cabang psikologi, psiko-analisislah yang lebih banyak mempunyai hubungan dengan sastra, sebab psikoanalisis memberi teori adanya dorongan baawah sadar yang memengaruhi tingkah laku manusia dalam hal ini tingkah laku Raden Suria yang sombong dan angkuh, serta Zubaidah yang penurut, sopan, santun serta lemah lembut. Pelopor psikoanalisis adalah Sigmund Freud. 

1.6.1 Landasan Kritik sastra Psikoanalisis 
Psikoanalisis pada awalnya adalah sebuah metode psikoterapi untuk menyembuhkan penyakit-penyakit mental dan syaraf, dengan menggunakan teknik tafsir mimpi dan asosiasi bebas. Teori ini kemudian meluas menjadi sebuah teori tentang kepribadian. 

Konsep-konsep yang terdapat dalam teori kepribadian versi psikoanalisis ini termasuk yang paling banyak dipakai di berbagai bidang, hingga saat ini. Konsep Freud yang paling mendasar adalah teorinya tentang ketidaksadaran. Pada awalnya, Freud membagi taraf kesadaran manusia menjadi tiga lapis, yakni lapisan unconscious (taksadar), lapisan preconscious (prasadar), dan lapisan conscious (sadar). Di antara tiga lapisan itu, taksadar adalah bagian terbesar yang memengaruhi perilaku manusia. Freud menganalogikannya dengan fenomena gunung es di lautan, di mana bagian paling atas yang tampak di permukaan laut mewakili lapisan sadar. Prasadar adalah bagian yang turun-naik di bawah dan di atas permukaan. Sedangkan bagian terbesar justru yang berada di bawah laut, mewakili taksadar.

Dalam buku-bukunya yang lebih mutakhir, Freud meninggalkan pembagian lapisan kesadaran di atas, dan menggantinya dengan konsep yang lebih teknis. Tetapi basis konsepnya tetap mengenai ketidaksadaran, yaitu bahwa tingkah laku manusia lebih banyak digerakkan oleh aspek-aspek tak sadar dalam dirinya. Pembagian itu dikenal dengan sebutan struktur kepribadian manusia, dan tetap terdiri atas tiga unsur, yaitu id, ego, dansuperego.

Id adalah bagian yang sepenuhnya berada dalam ketidaksadaran manusia. Id berisi cadangan energi, insting, dan libido, dan menjadi penggerak utama tingkah laku manusia. Id menampilkan dorongan-dorongan primitif dan hewani pada manusia, dan bekerja berdasarkan prinsip kesenangan. Ketika kecil, pada manusia yang ada baru id-nya. Oleh karena itu kita melihat bahwa anak kecil selalu ngotot jika menginginkan sesuatu, tidak punya rasa malu, dan selalu mementingkan dirinya sendiri.

Ego berkembang dari id, ketika manusia mulai meninggalkan kekanak-kanakannya, sebagai bentuk respon terhadap realitas. Ego bersifat sadar dan rasional. keinginan-keinginan id tidak selalu dapat dipenuhi, dan ketika itulahego memainkan peranan. Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas. Misalnya, ketika id dalam diri kita ingin makan enak di restoran mahal, tetapi keuangan kita tidak mampu, maka ego tidak bisa memenuhi keinginan itu.

Superego muncul akibat persentuhan dengan manusia lain (aspek sosial). Dalam keluarga, superego ditanamkan oleh orang tua dalam bentuk ajaran moral mengenai baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, dsb.Superego muncul sebagai kontrol terhadap id, terutama jika keinginan id itu tidak sesuai dengan moralitas masyarakat. Superego selalu menginginkan kesempurnaan karena ia bekerja dengan prinsip idealitas.

1.6.2 Tujuan Kritik Sastra Psikoanalisis :

Tujuan kritik sastra Psikoanalisis adalah untuk menyimpulkan proses kejiwaan dalam dua cara.


1. Sublimasi : Konsep sublimasi terkait dengan konsep ketidaksadaran. Sebagaimana telah diuraikan di atas, dalam lapisan taksadar manusia terdapat id yang selalu menginginkan pemuasan dan kesenangan. Seringkali keinginan iditu bertentangan dengan superego maupun norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, dan karenanya keinginan itu tidak mungkin direalisasikan, kecuali orang tersebut mau dianggap tidak sopan, jahat, cabul, dsb.Tetapi dorongan-dorongan tersebut tetap harus dipuaskan. Tetapi agar dapat diterima oleh norma masyarakat, dorongan-dorongan itu lalu dialihkan ke dalam bentuk lain yang berbeda sama sekali, misalnya dalam bentuk karya seni, ilmu, atau aktivitas olah raga. Proses pengalihan dorongan id ke dalam bentuk yang dapat diterima masyarakat itu disebut sublimasi. Menurut Freud, sublimasi inilah yang menjadi akar dari kebudayaan manusia.

2. Asosiasi : Di samping tafsir mimpi, teknik terapi yang dikembangkan Freud dalam psikoanalisisnya adalah asosiasi bebas (free association). Asosiasi bebas adalah pengungkapan atau pelaporan mengenai hal apapun yang masuk dalam ingatan seseorang yang tengah dianalisis, tanpa menghiraukan betapa hal tersebut akan menyakitkan hati atau memalukan. 

Seringkali dalam melakukan asosiasi ini, Tokoh mengingat-ingat segala kejadian yang pernah dialaminya, khususnya kejadian di masa anak-anak, atau memunculkan kembali pikiran-pikiran dan imajinasinya yang paling liar. Itulah dorongan id yang sedang dipanggil kembali.

Itulah di antaranya konsep-konsep psikoanalisis yang dapat dihubungkan dengan seni sastra. Berdasarkan teori Freud, sedikit dapat disimpulkan bahwa sumber ide karya seni adalah id yang berada dalam ketidaksadaran kita, dan sebagian dari kesadaran. Sedangkan proses munculnya ide itu dalam pikiran adalah melalui sublimasi dan asosiasi bisa digunakan untuk mengkaji para tokoh dalam Novel KHJL ini. 

BAB II

PEMBAHASAN

KRITIK SASTRA NOVEL KLASIK BERJUDUL “KATAK HENDAK MENJADI LEMBU” BERDASARKAN TEORI PSIKOANALISIS

Di sini teori Freud ini digunakan untuk menemukan bahwa kepribadian tokoh-tokoh dan kejadian-kejadian dalam novel karya Nur Sutan Iskandar ini yang mana hal tersebut sangat sesuai dengan teori-teorinya mengenai kepribadian manusia yang dikuasi oleh id, ego dan superego. 

Demikian halnya yang dilakukan oleh Nur St. Iskandar dalam mengarang cerita ini penuh dengan gejolak pertentangan jiwa seperti yang dirasakah oleh Zubaidah istri Raden Suria yang memiliki watak tak pernah merasa puas dalam hidupnya dan sangat bangga dengan gelar kebangsawannya.

Nur St. Iskandar telah berhasil mengangkat sebuah efek atau kesan yang kerap dirasakan pembaca ketika menikmati karya sastra tertentu yang bersifat menyentuh perasaan sepeti cemas, takut, atau marah juga jengkel. Meskipun perasaan-persaaan itu muncul, anehnya pembaca tetap menyenangi dan menikmati karya sastra demikian.

Unsur Intrinsik :

Tema cerita : Masalah seorang keturunan bangsawan Sunda yang tidak mau bekerja keras. Ia begitu bangga akan kebangsawannya. Selain itu mengangkat juga permasalahan manusia yang melakukan sesuatu di luar batas kemampuannya.

Setting Cerita : Cerita ini berlatar belakang masyarakat bangsawan Sunda. Tempat kejadiannya adalah Bandung, Sumedang, Cirebon, Jakarta, Garut hanya disebut sebagai tempat tinggal keluarga Kosim, dan Tasikmalaya Jawa Barat.


1. Zakaria : seorang haji yang kaya raya.

2. Suria : anak haji Zakaria. Dia mempunyai sifat yang kurang baik. Pembawaannya pongah, suka berhura-hura. Dia selalu mengharapkan dan melakukan sesuatu dilular batas kemampuannya. Dengan kata lain dia berbuat sekehendak hati termasuk dalam hal keuangan yang dalam istilahnya : lebih besar pasak daripada tiang.

3. Haji hasbullah : Seorang haji yang kaya raya, sahabat haji Zakaria.

4. Zubaidah atau Edah : putri tunggal haji Zakaria yang mempunyai sifat penurut, sopan, santun dan berbudi luhur serta halus perasaannya.

5. Raden Prawira : seorang mantri polisi.

6. Abdulhalim : anak perkawinan Suria dan Zubaidah.

7. Raden Kosim : pegawai magang yang satu kantor dengan Raden Suria.

8. Haji Junaedi : Petani kaya raya yang memiliki seorang putri bernama Fatimah.

9. Wedana Raden Atmadi Nata : Sahabat karib almarhum ayah Raden Kosim yang juga merupakan atasan dari Raden Kosim dan Raden Suria. 

Kajian watak tokoh Zubaidah ditinjau dari Teori Psiko-analisis :

Rupanya Nur St Iskandar bermaksud menggambarkan tokoh Edah (Zubaidah) adalah tokoh wanita yang penurut namun sebenarnya hatinya menolak semua unsur id yang dimiliki suaminya, sehingga terjadilah konflik emosi dan kejiwaan Edah, Superego menjadi unsur karakter Zubaedah yang berfungsi sebagai lapisan yang menolak sesuatu yang melanggar prinsip moral, yang menyebabkan seseorang malu atau memuji sesuatu yang dianggap baik. Apabila terjadi keseimbangan wajar didalam kehidupan batin rumah tangganya, maka ketiga unsur yaitu id, Ego dan Superego nya seimbang, maka hal itu akan memberikan watak manusia yang wajar atau biasa. Namun Edah tidak bisa melaukan itu karena tuntutan keadaan dimana adanya faktor luar dari dirinya yang menyebabkan adanya konflik keseimbangan dalam unsur yang membentuk dirinya sehingga membentuk konflik emosi Zubaedah. Konflik emosi pada dasarnya adalah konflik antara persaan bawah sadar dengan keinginan-keinginan yang muncul dari luar. Emosi yang dimiliki Edah bersifat dwirasa yaitu emosi antar sayang, kasihan, hormat dan benci saling bercampur. Penyelesaian konflik batinnya dengan disembunyikan yang mengakibatkan Zubeadah sakit karena tekanan batin karena dia gagal men-sublimasi konfliknya dengan baik.

Kajian watak tokoh Suria ditinjau dari Teori Psiko-analisis :

Raden Suria tingkah lakunya kebanyakan didominasi oleh unsur kepribadian yang disebut id . Dorongan-dorongan perilakunya hanya berdasarkan prinsip kesenangan, selalu ngotot dalam menginginkan sesuatu dan selalu mementingkan diri sendiri, adapun rasa malu yang tidak dimilikinya adalah ketika dia menganggung-agungkan pangkat derajatnya, dan ketika berniat menikah lagi dengan anak Haji Junaedi yang bernama Fatimah melalui sebuah surat demi untuk mendapatkan harta kekayaan Haji Junaedi supaya hutang-hutangnya lunas dan dia tetap bisa berfoya-foya. Dia hanya mementingkan diri sendiri tanpa menghiraukan keadaan keluarganya termasuk Istinya yaitu Zubaedah, dan pendidikan ketiga anak-anaknya yaitu Abdulhalim, Agan Aleh dan Enah. Selain itu dorongan id yang sangat kuat adalah ketika Raden suria menumpang di rumah anak sulungnya yang telah sukses dan telah berumah tangga yaitu Abdulhalim, Raden Suria belaku seenaknya dan terus melakukan kesenangan hidup dengan penuh kebanggaan yang selalu diceritakannya kepada teman-temanya.

Sebagaimana menurut teori Psiko-analisis unsur jika unsur id lebih kuat pada diri seseorang, maka dalam lapisan tak sadar manusia terdapat id yang selalu menginginkan pemuasan dan kesenangan. Itulah yang terjadi pada tokoh Suria danpada akhirnya timbul konflik emosi dan kejiwaannya ketika istrinya Zubaedah meninggal dunia setelah anaknya Abdulhalim mengungkap dengan gambalng semua kepedihan hati ibunya karena ulah dirinya. Timbul kesadaran dan penyesalan, namun dia tidak dapat menyelesaikan konflik batinnya karena semuanya sudah terlambat dan pada akhirnya dia gagal keluar dari konflik emosi di dasar jiwanya, kegagalan inilah yang di sebut neurosis atau penyakit syaraf yang pada bagian akhir bab hal 221-223 mengungkapkan demikian :

......... Ia terengah-engah, takut bercampur sedih, lalu terduduk di atas sebbuah balai-balai,seorang diri, dirayu-rayu suara gaib yang memutuskan rangkai hati.
Makin lama ia duduk demikian, ia pun makin gelisah. Tak senang diam. Aduhai...

Mata terlayang ke kiri dan ke kanan,
.........................................................
Akan tetapi bagi Suria Edan, 
Sekaliannya itu cibir-ejekan,
.........................................
.........................................
Rupanya pemandangan dan seruan gaib itu menarik hatinya dan menggerakkan anggotanya yang lemah-lesu itu akan berangkat......Dan sebagai bayang-bayang ia pun berdiri pula, berjalan, sedang mulutnya bergerak menyebut-nyebut perkataan,.............

BAB III

KESIMPULAN

Di sini teori Freud ini digunakan untuk menemukan bahwa kepribadian tokoh-tokoh dan kejadian-kejadian dalam novel karya Nur Sutan Iskandar ini yang mana hal tersebut sangat sesuai dengan teori-teorinya mengenai kepribadian manusia yang dikuasi oleh id, ego dan superego. Raden Suria tingkah lakunya kebanyakan didominasi oleh unsur kepribadian yang disebut id . Dorongan-dorongan perilakunya hanya berdasarkan prinsip kesenangan, selalu ngotot dalam menginginkan sesuatu dan selalu mementingkan diri sendiri, adapun rasa malu yang tidak dimilikinya adalah ketika dia menganggung-agungkan pangkat derajatnya. 

Sementara Zubaidah) adalah tokoh wanita yang penurut namun sebenarnya hatinya menolak semua unsur id yang dimiliki suaminya, sehingga terjadilah konflik emosi dan kejiwaan Edah, Superego menjadi unsur karakter Zubaedah yang berfungsi sebagai lapisan yang menolak sesuatu yang melanggar prinsip moral, yang menyebabkan seseorang malu atau memuji sesuatu yang dianggap baik. 

Penyelesaian konflik batin Zubaedah dengan disembunyikan yang mengakibatkan Zubeadah sakit karena tekanan batin karena dia gagal men-sublimasi konfliknya dengan baik. Dan dalam menyelesaikan konflik batinnya Raden Suria mengalami neurosis, karena kegagalannya keluar dari konflik emosi di dalam jiwanya.

Sinopsis


Karya Nur St. Iskandar

Haji Hasbullah dengan berat hati harus menerima lamaran Haji Zakaria yang hendak mengambil Zubaidah untuk mejadi istri anaknya yang bernama Suria. Haji Hazbullah berat menerima lamaran, sebab sebenarnya sudah mempunyai calon untuk Zubaidah anaknya itu, yaitu Raden Prawira, seorang Manteri Polisi. Keberatan Haji Hazbullah yang lainnya, karena Suria di mata Haji Hazbullah dianggap sebagai seorang pemuda yang pongah, sombong, foya-foya, serta egois. Tapi karena Haji Zakaria adalah teman karibnya, jadi dia tak kuasa menolak ketika Haji Zakaria datang hendak melamar Zubaidah sebagai menantunya.

Ketakutan Haji Hazbullah memang terbukti, kelakuan Suria tidak berubah sedikitpun. Apalagi setelah ayahnya, Haji Zakaria meningggal dunia, Suria kerjanya hanya berfoya-foya saja, anak istrinya tidak dia hiraukan. Malah lebih jauh lagi, Zubaidah, istrinya yang dia tinggalkan selama tiga tahun padahal istrinya baru saja melahirkan anaknya, yang mereka beri nama Abdulhalim. Suria baru kembali kembali kepangkuan istrinya, setelah harta warisan ayahnya itu sudah habis dia gunakan untuk berfoya-foya. Dia memohon dan meminta maaf kepada ZubaZubaidah agar dia diterima lagi dalam keluarga itu. Permohonan dikabulkan oleh ZubaZubaidah karena rasa kasihan dan berharap bahwa memang betul-betul Suria nantinya akan merubah tingkah lakunya yang kurang baik itu. Kemudian Suria bekerja sebagai juru tulis di kantor asisten kabupaten. Penghasilan pas-pasan, sehingga sulit untuk membiayai kebutuhan sehari-hari keluarganya. Sebagai orang tua yang baik, Haji Hazbullah membantu anaknya dengan cara menyekolahkan Abdullah ke sekolah Belanda. 

Penghasilan Suria sebenarnya masih sangat pas-pasan. Tapi kelakuan Suria masih tetap saja tak berubah, sifatnya yang keras kepala, tak tahu malu, serta selalu masih merasa sebagai seorang bangsawan yang kaya dan dihormati masih saja tertanam dalam kepalanya. Biar dilihat oleh orang-orang bahwa dia termasuk keluarga mampu, kedua anaknya, adik Abdulhalim yaitu Saleh dan Aminah oleh Suria di sekolahkan ke HIS Bandung. Padahal ZubaZubaidah pusing akibat kelakuan sumainya yan tidak tahu diri itu. Mereka suka bertengkar mulut, sebab secara diam-diam Zubaidah mengeluh pada ayahnya dan minta dikirimi uang agar bisa bayar hutang.

Rupanya Suria sudah punya rencana sendiri kenapa dia selalu acuh tak acuh. Tak lama lagi Suria akan diangkat menjadi Klerek karena ada lowongan untuk itu dan dia telah melayangkan lamaran. Dia begitu yakin akan dterima. Karena yakin Suria berani membeli barang-barang lelang dikantornya, yang tentu saja dengan hutang makin lama hutangnya makin menggunung saja. Yang lebih fatal lagi, rupanya Suria telah mengambil uang kas negeri guna keperluan yang tak pernah terpuaskan itu. Kelakuannya ketahuan atasannya sehingga dia dipanggil. Waktu dipanggil itu, karena memang sudah direncanakan, dia sudah menyiapkan surat berhenti. Setelah berhenti maka dia akan membawa anak istrinya pindah ke rumah Abdullhalim anaknya. Dia sudah menulis surat kepada anaknya itu bahwa dia dan istrinya hendak tinggal dirumah Abdullhalim.

Sebagai anak yang hendak berbakti kepada orang tuanya, jelas Abdullhalim tak merasa keberatan kalau kedua orang tuanya bermaksud tinggal di rumahnya. Setelah beres-beres, Suria dan istrinya langsung berangkat ke rumah Abdulhalim. Rupanya tingkah laku pola Suria betul-betul tak pernah berubah, walaupun dia jelas-jelas tinggal di rumah anaknya dan sekaligus menantunya itu, namun Suria merasa dialah sebagai kepala rumah tangga dalam rumah tangga itu. Yang paling menderita melihat tingkah laku Suria yang diluar batas itu adalah Zubaidah. Hatinya hancur lebur, karena kehidupan keluarganya berantakan akibat ulah suaminya itu. Akibatnya Zubaidah sakit-sakitan sampai meninggal dunia dengan menanggung penderitaan batin yang teramat dalam. 

Kesadaran Suria baru muncul, yaitu ketika istrinya meninggal itu. Dia merasa malu yang dalam , karena telah mengganggu kedamaian kehidupan Zubaidah istrinya. Karena merasa malu dan menyesal, Suria kemudian mengambil keputusan meninggalkan keluarganya dia pergi, merantau ke Jakarta namun kemudian dia ingat kampung halamannyadan pergi entah ke mana tanpa tujuan. Dia menghilang, dengan membawa semua penyesalan, malu serta segala kesombongan dan keangkuhan yang sudah mendarah daging itu.

“Katak Hendak Jadi Lembu” adalah novel klasik yang mengandung nilai-nilai kehidupan dari sepasang suami istri bernama Raden Suria dan istrinya Zubaidah. Novel ini menceritakan tentang kehidupan Suria yang hanya bekerja sebagai mantri kabupaten tetapi bertingkah bagai orang yang paling berkuasa di daerahnya layaknya seekor katak yang ingin berubah menjadi lembu sangat sesuai dengan judul novel tersebut.

Novel karangan Nur Sutan Iskandar ini, menggunakan alur maju mundur (digresi) karena awalnya pengarang mengenalkan situasi dan tokoh cerita, lalu kembali menceritakan kejadian masa lalu ketika Suria dijodohkan dengan Zubaidah, kemudian kembali memaparkan cerita yang menuju konflik. Sehingga digunakannya alur maju mundur (digresi) ini, memudahkan pembaca untuk mengetahui awal penyebab konflik sebelum mengetahui konflik yang terjadi. Sedangkan puncak konflik yang digunakan adalah “sad ending” karena diceritakan bahwa Suria akhirnya meninggal dunia.

Adapun tokoh utama novel ini adalah Zubaidah sebagai istri Suria dengan watak protagonis memiliki sifat yang sabar, patuh terhadap suami dan sangat menyayangi ketiga anaknya Abdulhalim, Saleh dan Enah. Sedangkan lawan mainnya Suria dengan watak antagonis memilki sifat sombong, tinggi hati dan tidak layak ditiru oleh pembaca semakin menambah kehebatan isi cerita.

Meskipun novel ini dikarang oleh pengarang yang berasal dari daerah Minangkabau, akan tetapi pengarang mampu menulis novel yang kuat dengan menghadirkan latar tempat dan latar sosial masyarakat Pasundan seperti yang dikatakan oleh Maman S. Mahayana seorang kritikus sastra. Hal ini dibuktikan bahwa pengarang menceritakan adat yang berlaku di Pasundan bahwa seorang anak gadis harus bersedia menikah dengan seseorang pilihan orang tuanya bukan kehendak dirinya sendiri. Selain itu pengarang terlihat piawai memainkan bahasa Sunda seperti “kabodoan” berarti tertipu, ”ngigel” berarti menari, ”semah” berarti tamu dan juga bahasa Belanda seperti “binnelandsch bestuur” berarti pemerintahan dalam negeri, “hulpschrijver” berarti juru tuilis pembantu.

Pasundan adalah latar tempat yang digunakan dalam novel ini. Kesedihan, kekesalan, ketegangan dan keharuan menjadi latar suasana yang selalu menghiasi cerita. Hal ini dibuktikan ketika Zubaidah menangis memohon agar suaminya, Suria tidak lagi boros terhadap keuangan rumah tangga. Suasana keharuan ketika Suria diusir oleh anaknya, Abdulhalim karena tabiatnya yang buruk kemudian jatuh miskin dan akhirnya meninggal dunia menyusul istrinya.

Novel yang terdiri dari 224 halaman ini menggunakan sudut paandang orang serba tahu karena tidak adanya penggunaan kata “aku” dalam menceritakan suatu kejadian.

Adapun kekurangan dalam novel ini adalah gambar sampul yang terkesan sederhana karena tidak menggunakan ilustrasi gambar sehingga terlihat tidak menarik, penggunaan peribahasa seperti …”telunjuk lurus,kelingking berkait…”

Adapun kelebihan novel ini dari segi fisik menggunakan kertas putih yang enak untuk dibaca, meski novel klasik tetapi tidak kalah hebat dengan novel modern. Selain itu novel ini banyak mengandung amanat seperti kita tidak boleh sombong dan tinggi hati, kita tidak boleh boros, kita tidak boleh diperbudak oleh harta dan jabatan, kita tidak boleh menambah beban kedua orang tua ketika telah menikah karena semua yang kita miliki di dunia ini hanya “teman dikala hidup dan musuh dikala mati” artinya semua ini hanya titipan Tuhan Yang Maha Esa.

Dapat disimpulkan bahwa novel ini layak dibaca oleh orang dewasa dan remaja sedangkan untuk anak-anak novel ini menggunakan bahasa yang baku dan sulit untuk dimengerti.
Share this post :

+ komentar + 3 komentar

Anonim
22 Juli 2013 pukul 11.06

"....Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka metode dilakukan dengan pendekatan objektif atau struktural, yang mana penulis menelaahnnovel ini dari segi intrinsiknya yaitu masalah tema, alur, latar dan penokohan serta gaya bahasanya yang menghasilkan perpaduan cerita yang kuat, yang mana pada tokoh-tokohnya ditelaah dengan menggunakan teori psikologi (atau psikoanalisis)."
Pertanyaannya, bgm caranya menganlisis dengan strukturalisme tersebut, dan apa hubungannya dengan psikoanalisis?

Kalo dicermati, yang dikaji dengan psikonalisis hanya pada tataran tokoh, sementara kajian strukturalnya, kok tiba2 saja muncul tema, tokoh, latar, dll.

30 Desember 2017 pukul 20.29

Belum semuanya diposting ke blog. Terlalu panjang... hehehe.

Anonim
29 Januari 2023 pukul 22.13

Katak Hendak Jadi Lembu Apa Roman atau Novel mohon penjelasan

Posting Komentar

BUAT PEMBACA YANG BUDIMAN, SILAHKAN MENGISI KOTAK KOMENTARNYA.....
SALAM SILATUIRAHMI....

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. DR. Cecep. Suhardiman,SH. MH. - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger